CONTINUOS AMBULATORY PERITONEAL DIALYSIS
by : Ita Murbani
CAPD adalah
singkatan dari Continous Ambulatory
Peritoneal Dialysis yang merupakan bagian Replacement
Renal Therapy (RRT) , dengan menggunakan peritoneum sebagai dialisator untuk pasien dengan
gagal ginjal kronis. Prinsipnya adalah perpindahan suatu molekul solute dan zat terlarut
dari suatu larutan konsentrasi tinggi ke larutan konsentrasi rendah secara
difusi.
CAPD / Continous Ambulatory Peritoneal
Dialysis merupakan suatu bentuk dialisis yang dilakukan pada banyak pasien
penyakit renal stadium kronis atau terminal. CAPD bersifat rutin, terus menerus dan dapat dilakukan sendiri.
Metode ini bisa dikerjakan dirumah oleh pasien. Tehniknya terapi dialisis disesuaikan
dengan kebutuhan fisiologik pasien dan kemampuanya untuk mempelajari prosedur
ini. Metode ini harus dapat dipahami oleh pasien dan keluarga, serta diperlukan
petunjuk yang adekuat untuk menjamin agar mereka merasa aman dan yakin dalam
melaksanakannya.
Larutan dialisat dialirkan dari
botol plastik fleksibel melalui kateter peritoneal permanen yang disebut
Kateter Tenckoff yang dipasang dalam kamar operasi dan disisipkan ke dalam
kavum abdomen dan difiksasi dengan bantuan manset dakron yang terpasang pada
kateter tersebut. Pertumbuhan jaringan disekitar manset akan menghasilkan segel
yang kedap bakteri. Saluran sub kutan (yag panjang nya 5-10 cm)aka memberikan
proteksi lebih lanjut terhadap infeksi bakteri.
Setelah larutan dialisa diinfuskan kedalam kavum peritoneal melalui
kateter, diklem dan diputus hubungannya dengan selang panjang, kemudian
kateter disisipkan di balik baju pasien selama waktu retensi. Pada waktu akhir
retensi larutan dialisa dialirkan keluar dari dalam kavum peritoneal dengan
menggunakan kantung dialisat kosong yang baru dan ditempatkan lebih
rendah dari abdomen di dekat lantai. Sehingga pengaliran keluar cairan
peritonial dengan bantuan gaya berat, setelah drainase selesai larutan yang
baru diinfuskan ke dalam kavum peritoneal dan prosedur di atas diulangi.
Untuk mengurangi resiko peritonitis perawatan yang cermat harus dilakukan untuk
mencegah kontaminasi kateter, cairan atau selang dan terlepasnya kateter tanpa
sengaja dari selang tersebut. Kateter harus dilindungi terhadap manipulasi dan
lokasi masuknya keteter ke dalam abdomen memerlukan perawatan yang cermat
sesuai protokol standar.
Keberhasilan CAPD tergantung pada pemeliharaan kateter peritoneal permanen.
Masalah kateter yang dapat terjadi mencakup :
- obstruksi satu arah
- tercabutnya kateter dari panggul
- terbelitnya kateter dengan omentum
- perembesan cairan dialisat
- infeksi pada lokasi keluar
- pembentukan bekuan fibrin dan
- kontaminasi bakteri / jamur.
Prinsip-prinsip CAPD
CAPD bekerja berdasarkan prinsip-prinsip yag sama
seperti pada bentuk dialisis lainnya, yaitu difusi dan osmosis. Tetapi karena
CAPD merupakan terapi dialisis yang kontinyu, kadar produk limbah nitrogen
dalam serum berada dalam keadaan yang stabil.
Nilainya bergantung pada:
- fungsi ginjal
yang masih terpisah
- volume dialisa setiap hari
- Kecepatan produk limbah tersebut
diproduksi.
Fluktuasi hasil-hasil laboratorium ini pada CAPD tidak
begitu ekstrim dibandingkan dengan dialisis peritoneal intermiten, karena
proses dialisis berlangsung secara konstan. Kadar elektrolit biasanya tetap
berada dalam kisaran normal.
Semakin lama waktu retensi, klirens molekul yang berukuran sedang semakin baik,
molekul ini merupakan toksin uremik yang signifikan. Dengan CAPD kliren molekul
ini meningkat. Substansi dengan berat molekul rendah, seperti ureum, akan
berdifusi lebih cepat dalam proses dialisis dari pada molekul berukuran sedang,
meskipun pengeluaranya selama CAPD lebih lambat daripada selama hemo dialisis.
Pengeluaran cairan yang berlebihan pada saat dialisis peritoneal dicapai degan
menggunakan larutan dialisat hipertonik yang memiliki konsentrasi glukosa yang
tinggi sehingga tercipta gradien osmotik. Larutan glukosa 1,5%, 2,5% dan 4,25%
harus tersedia dengan beberapa ukuran volume, mulai dari 500 ml – 3000 ml,
sehingga memungkinkan pemilihan dialisat yang sesuai dengan toleransi, ukuran
tubuh dan kebutuhan fisiologik pasien. Semakin tinggi konsentrasi glukosa,
semakin besar gradien osmotik dan semakin banyak air yang dikeluarkan. Pasien
harus diajarkan cara memilih larutan glukosa yang tepat berdasarkan asupan
makanannya.
Pertukaran biasanya dilakukan empat kali sehari yang berlangsung kontinyu
selama 24 jam/hari dan dilakukan dalam 7 hari dalam seminggu. Pasien
melaksanakan pertukaran dengan interfal yang didistribusikan disepanjang hari (
misalnya pada pukul 06.00 pagi, 12.00 siang, 18.00 sore dan 24.00 malam ). Setiap pertukaran
memerlukan waktu 20- 30 menit atau lebih
tergantung pada lamanya waktu retensi yang ditentukan oleh dokter. Lama waktu
penukaran terdiri atas 5 atau 10 menit periode infus (pemasukan dialisa), 20
menit periode drainase (pengeluaran cairan dialisa) dan waktu retensi selama 10
menit, 30 menit atau lebih.
Waktu pertukaran ditentukan oeh dokter dan disesuaikan
dengan komplikasi dan kebutuhan pasien.
Indikasi CAPD
Pasien – pasien GGT ( Gagal ginjal terminal ) yang memerlukan progarm
CAPD terdiri dari :
a. Pasien GGT dengan program HD
reguler
b. Pasein GGT dengan risiko tinggi
program HD
c. Pasien GGT dengan gambaran
klinik akumulasi toksin middle molecules.
CAPD merupakan terapi pilihan bagi pasien yang ingin melaksanakan dialisis
sendiri di rumah, indikasi CAPD adalah
- pasien-pasien yang menjalani HD rumatan (maintenence) atau HD kronis yang mempunyai masalah dengan cara terapi yang sekarang, seperti
- gangguan fungsi atau kegagalan alat untuk akses vaskuler,
- rasa haus yang berlebihan,
- hipertensi berat,
- sakit kepala pasca dialisis dan
- anemia berat yang memerlukan transfusi.
2. Penyakit
ginjal stadium terminal yang terjadi akibat diabetes sering dipertimbangkan
sebagai
indikasi untuk dilakukan CAPD karena hipertensi, uremia dan hiperglikemia
lebih
mudah diatasi dengan cara ini dari pada HD.
Pasien lansia dapat memanfaatkan teknik CAPD dengan baik jika keluarga atau
masyarakat memberikan dukungan. Pasien yang aktif dalam penanganan penyakitnya,
menginginkan lebih banyak kebebasan dan memiliki motivasi serta keinginan untuk
melaksanakan penanganan yang diperlukan sangat sesuai dengan terapi CAPD.
Selain kemampuan pasien dukungan dari keluarga untuk melasanakan CAPD
harus dipertimbangkan ketika memilih terapi ini.
Pasien memilih CAPD agar bebas dari ketergantungannya pada mesin, mengontrol
sendiri aktifitasnya sehari-hari menghindari pembatasan makanan meningkatkan
asupan cairan, menaikkan nilai hematokrit serum, memperbaiki kontrol tekananan
darah, bebas dari keharusan pemasangan jarum infus(venipuncture) dan merasa
sehat secara umum meskipun CAPD memberi kesan pasien tampak bebas, terapinya
berlangsung secara kontinyu sehingga pasien harus menjalani dialisis selama 24
jam /hari setiap hari. Sebagian pasien menganggap cara ini membatasi
kebebasanya dan memilih HD yang lebih bersifat intermiten.
KONTRAINDIKASI CAPD
Hal – hal yang dapat dipertimbangkan sebgai kontraindikasi
dilakukan CAPD adalah :
- Perlekatan akibat pembedahan atau penyakit inflamasi sistemik sebelumnya.
- Perlekatan akan mengurangi klirens solut.
- Nyeri punggung kronis yang rekuren di sertai riwayat kelainan pada diskus intervertebralis dapat diperburuk oleh tekanan cairan dialisat dalam abdomen yang kontinyu
- Adanya riwayat kolostomi, ileostomi, nefrostomi atau ilealconduit dapat meningkatkan resiko peritonitis walaupun tindakan operasi tersebut bukan kontraindikasi absolut untuk CAPD.
- Pasien dengan pengobatan imunosupresif akan mengalami komplikasi akibat kesembuhan luka yang buruk pada lokasi pemasangan kateter.
- Diverkulitis mengingat CAPD pernah disertai adanya ruptur divertikulum.
- Pasien dengan artritis atau kekuatan tangan menurun karena akan memerlukan bantuan dalam melaksanakan pertukaran cairan.
Kontraindikasi Absolut :
1. Kesulitan teknik operasi
2. Luka yang luas di dinding operasi
3. Perlekatan yang luas dalam rongga peritoneum ( akibat operasi daerah abdomen, riwayat inflamasi sebelumnya )
4. Tumor atau infeksi di dalam rongga abdomen (adneksitis )
5. Riwayat Ruptur divertikel, hernia berulang yang tidak dapat dikoreksi
6. Fistel antara peritoneum dengan rongga pleura
7. Tidak dapat melakukan PD secara mandiri dan tidak ada yang membantu.
Kontraindikasi Relatif :
1. Obesitas
tanpa residual renal finction2. Gangguan jiwa
3. Gangguan penglihatan
4. Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK)
5. Inflamasi kronik saluran cerna.
Persyaratan calon peserta :
1. Pasien
mandiri atau ada yang membantu2. Tinggal ditempat yang bersih dan lingkungan yang sehat
3. Bersedia menjalani pelatihan intensif dan mematuhi prosedur PD
Gambar 1 Pemeliharaan
Kateter
Gambar 2.
Prinsip CAPD
KOMPLIKASI CAPD
Kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi pada CAPD
adalah :
- Peritonitis
Merupakan komplikasi yang paling sering terjadi dan
paling serius, yaitu antara 60-80 % dari pasien yang menjalani peritoneal
dialisis. Hal ini disebabkan oleh adanya kontaminasi dari Staphylokokus
epidermidis yang bersifat aksidental, dan Staphylococcus aureus
dengan angka morbiditas tinggi, prognosis lebih serius serta lebih lama.
Manifestasi dari peritonitis
yaitu cairan dialisat yang keruh, nyeri abdomen yang difus, hipotensi serta
tanda-tanda syok lainnya, hal ini jika penyebabnya S. Aureus. Pemeriksaan
cairan drainage untuk penghitungan jumlah sel, pewarnaan Gram, dan pemeriksaan
kultur untuk tahu penyebab mikroorganisme dan arahan terapi.
Penatalaksanaan Peritonitis
di rumah sakit apabila pasien dalam kodisi parah dan tak mungkin melakukan terapi
pertukaran dirumah, dengan menjalani dialisis peritoneal intermitten selama 48
jam atau lebih atau sepenuhnya dihentikan selama dapat terapi suntikan
antibiotik.
Jika gejalanya ringan
ditangani secara rawat jalan dan terapi antibiotik ditambahkan dalam cairan
dialisat serta dapat AB peroral selama 10 hari. Infeksi akan menghilang dalam
waktu 2-4 hari . AB harus diberikan dengan cermat dan tidak bersifat
nefrotoksik agar tidak memperparah fungsi ginjal yang tersisa. Intervensi bedah
mungkin diperlukan jika peritonitis akibat adanya kebocoran dari usus.
Pada infeksi persisten
di tempat keluar kateter pelepasan kateter permanen diperlukan untuk mencegah
peritonitis. Peritonitis dengan hasil kultur cairan peritoneal positif juga
merupakan indikasi pelepasan kateter. Untuk sementara menggunakan HD selama
satu bulan sampai dilakukan pemasangan kateter yang baru.
Pasien dengan
peritonitis akan kehilangan protein melalui peritoneum dalam jumlah besar,
malnutrisi akut, serta kelambatan penyembuhan.
- Kebocoran
Kebocoran cairan dialisat yang biasa terjadi melalui
luka insisi atau luka pemasangan kateter setelah kateter terpasang.
Kebocoran akan berhenti spontan jika terapi dialisis ditunda selama beberapa
hari sampai luka insisi dan tempat keluarnya kateter sembuh.
Faktor yang dapat
memperlambat kesembuhan adalh aktifitas abdomen yang tidak semestinya atau
mengejan pada saat buang air besar. Kebocoran dapat dihindari dengan memulai
infus cairan dialisat dengan volume kecil (100-200 ml) dan secara bertahap
meningkatkan volume mencapai 2000 ml.-
Cairan drainage dialisat yang mengandung darah dapat terlihat khususnya pada wanita yang sedang haid. Hal ini disebabkan karena cairan hipertonik menarik darah dari uterus lewat orificium tuba falopii yang bermuara ke dalam kavum peritoneal.
Kejadian ini dapat terjadi selama beberapa kali penggantian
cairan mengingat darah akibat prosedur tersebut tetap berada pada rongga
abdomen. Penyebab lain adanya perdarahan karena pergeseran kateter dari
pelvis serta pada pasien yang habis menjalani pemeriksaan enema atau mengalami
trauma. Adapun intervensi yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan
pertukaran cairan lebih sering untuk mencegah obstruksi kateter oleh bekuan
darah.
- Komplikasi lainnya adalah
- Hernia abdomen karena peningkatan tekanan intra abdomen yang terus menerus. Tipe hernia yang terjadi adalah insisional, inguinal, diafragmatik, dan umbilikal. Tekanan intra abdomen yang persisten meningkat juga dapat memperburuk gejala hernia hiatus dan hemoroid.
- Hipertrigliseridemia sehingga memberi kesan dapat mempermudah aterogenesis. Penyakit Kardiovaskuler tetap merupakan penyebab utama kematian pada populasi pasien ini.
- Nyeri Punggung bawah dan anoreksia karena cairan dalam rongga peritoneum selain rasa manis yang selalu tarasa pada indra pengecap juga berkaitan dengan absorpsi glukose.
- Pembentukan bekuan dalam kateter peritoneal dan konstipasi.
- Gangguan citra tubuh dan seksualitas.
Hal ini berkaitan dengan adanya kateter abdomen dan
selangnya. Ukuran pinggang dapat meningkat 2,5 sampai 5 cm atau lebih jika
cairan berada di abdomen sehingga pasien tampak lebih gemuk. Seksualitas dan
fungsi seksual dapat berubah sehingga pasien dan pasangannya enggan melakukan
aktifitas seksual, dan keenggananya timbul juga karena secara psikologis
kateter menjadi penghalang aktifitas tersebut, serta adanya cairan dialisat 2
lt , kateter peritoneal, dapat mengganggu fungsi seksual serta citra tubuh
pasien ini.
Daftar
Pustaka
- National Kidney Foundation. KDOQI Clinical Practice Guidelines and Clinical Practice Recommendations for 2006 Update: Peritoneal Dialysis Adequacy. Am J Kidney Dis 48:S91-S175,2006
- Paniagua R, Amato D, Vonesh E, Correa-Rotter R, Ramos A, Moran J, Mujais S. Effects of increased peritoneal clearances on mortality rates in peritoneal dialysis: ADEMEX, a prospective, randomized, controlled trial. J Am Soc Nephrol 13:1307-1320, 2002
- ISPD – Guideline / Recomendations 2010 ; Peritoneal Dialysis ; Related Infections Recommendation.
- ISPD-Guideline/ Recomendations 2006; guideline on target for solution and fluid removal in adult patients on CKD. Update: Peritoneal dialysis International vol 26, pp 520-522.
- Canadian Siociety of nephrology Guidelines/Recommendations 2011; Clinical practice Peritoneal Dialysis Adequacy. Update: Peritoneal d\ialysis International vol 31,pp.218-239.
- Khanna R,Karl D.Nolph, Principles od Peritoneal Dialysis; Update : Dialysis as treatment of End stage renal disease Chapter 4 ,pp. 4.1 – 4.11
- Clinical Practice Gudieline, Renal Replacement therapy. Ministry of health malaysia 2009.
- Konsensus Peritoneal Dialisis pada penyakit ginjal kronik. Pernefri 2011