Jumat, 12 Juni 2015

CONTINUOS AMBULATORY PERITONEAL DIALYSIS


CONTINUOS AMBULATORY PERITONEAL DIALYSIS   
by : Ita Murbani                                         

CAPD adalah singkatan dari Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis yang merupakan bagian Replacement Renal Therapy (RRT) , dengan menggunakan peritoneum sebagai dialisator untuk pasien dengan gagal ginjal kronis. Prinsipnya adalah perpindahan suatu molekul solute dan zat terlarut dari suatu larutan konsentrasi tinggi ke larutan konsentrasi rendah secara difusi.     
            CAPD / Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis merupakan suatu bentuk dialisis yang dilakukan pada banyak pasien penyakit renal stadium kronis atau terminal. CAPD bersifat rutin,  terus menerus dan dapat dilakukan sendiri. Metode ini bisa dikerjakan dirumah oleh pasien. Tehniknya terapi dialisis disesuaikan dengan kebutuhan fisiologik pasien dan kemampuanya untuk mempelajari prosedur ini. Metode ini harus dapat dipahami oleh pasien dan keluarga, serta diperlukan petunjuk yang adekuat untuk menjamin agar mereka merasa aman dan yakin dalam melaksanakannya.
Larutan dialisat dialirkan dari botol plastik fleksibel melalui kateter peritoneal permanen yang disebut Kateter Tenckoff yang dipasang dalam kamar operasi dan disisipkan ke dalam kavum abdomen dan difiksasi dengan bantuan manset dakron yang terpasang pada kateter tersebut. Pertumbuhan jaringan disekitar manset akan menghasilkan segel yang kedap bakteri. Saluran sub kutan (yag panjang nya 5-10 cm)aka memberikan proteksi lebih lanjut terhadap infeksi bakteri.
            Setelah larutan dialisa diinfuskan kedalam kavum peritoneal melalui kateter,  diklem dan diputus hubungannya dengan selang panjang, kemudian kateter disisipkan di balik baju pasien selama waktu retensi. Pada waktu akhir retensi larutan dialisa dialirkan keluar dari dalam kavum peritoneal dengan menggunakan kantung dialisat kosong  yang baru  dan ditempatkan lebih rendah dari abdomen di dekat lantai. Sehingga pengaliran keluar cairan peritonial dengan bantuan gaya berat, setelah drainase selesai larutan yang baru diinfuskan ke dalam kavum peritoneal dan prosedur di atas diulangi.
            Untuk mengurangi resiko peritonitis perawatan yang cermat harus dilakukan untuk mencegah kontaminasi kateter, cairan atau selang dan terlepasnya kateter tanpa sengaja dari selang tersebut. Kateter harus dilindungi terhadap manipulasi dan lokasi masuknya keteter ke dalam abdomen memerlukan perawatan yang cermat sesuai protokol standar.


            Keberhasilan CAPD tergantung pada pemeliharaan kateter peritoneal permanen.
Masalah kateter yang dapat terjadi mencakup :

-           obstruksi satu arah
-          tercabutnya kateter dari panggul
-          terbelitnya kateter dengan omentum
-          perembesan cairan dialisat
-          infeksi pada lokasi keluar
-          pembentukan bekuan fibrin dan
-          kontaminasi bakteri / jamur.

Prinsip-prinsip CAPD
CAPD bekerja berdasarkan prinsip-prinsip yag sama seperti pada bentuk dialisis lainnya, yaitu difusi dan osmosis. Tetapi karena CAPD merupakan terapi dialisis yang kontinyu, kadar produk limbah nitrogen dalam serum berada dalam keadaan yang stabil.

Nilainya bergantung pada:    
                 -  fungsi ginjal yang masih terpisah
                 -  volume dialisa setiap hari
                 -  Kecepatan produk limbah tersebut diproduksi.


Fluktuasi hasil-hasil laboratorium ini pada CAPD tidak begitu ekstrim dibandingkan dengan dialisis peritoneal intermiten, karena proses dialisis berlangsung secara konstan. Kadar elektrolit biasanya tetap berada dalam kisaran normal.
            Semakin lama waktu retensi, klirens molekul yang berukuran sedang semakin baik, molekul ini merupakan toksin uremik yang signifikan. Dengan CAPD kliren molekul ini meningkat. Substansi dengan berat molekul rendah, seperti ureum, akan berdifusi lebih cepat dalam proses dialisis dari pada molekul berukuran sedang, meskipun pengeluaranya selama CAPD lebih lambat daripada selama hemo dialisis.
            Pengeluaran cairan yang berlebihan pada saat dialisis peritoneal dicapai degan menggunakan larutan dialisat hipertonik yang memiliki konsentrasi glukosa yang tinggi sehingga tercipta gradien osmotik. Larutan glukosa 1,5%, 2,5% dan 4,25% harus tersedia dengan beberapa ukuran volume, mulai dari 500 ml – 3000 ml, sehingga memungkinkan pemilihan dialisat yang sesuai dengan toleransi, ukuran tubuh dan kebutuhan fisiologik pasien. Semakin tinggi konsentrasi glukosa, semakin besar gradien osmotik dan semakin banyak air yang dikeluarkan. Pasien harus diajarkan cara memilih larutan glukosa yang tepat berdasarkan asupan makanannya.
            Pertukaran biasanya dilakukan empat kali sehari yang berlangsung kontinyu selama 24 jam/hari dan dilakukan dalam 7 hari dalam seminggu. Pasien melaksanakan pertukaran dengan interfal yang didistribusikan disepanjang hari ( misalnya pada pukul 06.00 pagi, 12.00 siang, 18.00 sore  dan 24.00 malam ). Setiap pertukaran memerlukan waktu 20- 30  menit atau lebih tergantung pada lamanya waktu retensi yang ditentukan oleh dokter. Lama waktu penukaran terdiri atas 5 atau 10 menit periode infus (pemasukan dialisa), 20 menit periode drainase (pengeluaran cairan dialisa) dan waktu retensi selama 10 menit, 30 menit atau lebih.
Waktu pertukaran ditentukan oeh dokter dan disesuaikan dengan komplikasi dan kebutuhan pasien.

Indikasi CAPD
Pasien – pasien GGT ( Gagal ginjal terminal ) yang memerlukan progarm CAPD terdiri dari :   
             a. Pasien GGT dengan program HD reguler
             b. Pasein GGT dengan risiko tinggi program HD
             c. Pasien GGT dengan gambaran klinik akumulasi toksin middle molecules.

 CAPD merupakan terapi pilihan bagi pasien yang ingin melaksanakan dialisis sendiri di rumah, indikasi CAPD adalah
  1. pasien-pasien yang menjalani HD rumatan (maintenence) atau HD kronis yang mempunyai masalah dengan cara terapi yang sekarang, seperti
  • gangguan fungsi atau kegagalan alat untuk akses vaskuler,
  • rasa haus yang berlebihan,
  • hipertensi berat,
  • sakit kepala pasca dialisis dan
  • anemia berat yang memerlukan transfusi.
       2.   Penyakit ginjal stadium terminal yang terjadi akibat diabetes sering dipertimbangkan   
             sebagai indikasi untuk dilakukan CAPD karena hipertensi, uremia dan hiperglikemia
             lebih mudah diatasi dengan cara ini dari pada HD.
      Pasien lansia dapat memanfaatkan teknik CAPD dengan baik jika keluarga atau masyarakat memberikan dukungan. Pasien yang aktif dalam penanganan penyakitnya, menginginkan lebih banyak kebebasan dan memiliki motivasi serta keinginan untuk melaksanakan penanganan  yang diperlukan sangat sesuai dengan terapi CAPD. Selain kemampuan pasien dukungan dari keluarga untuk melasanakan CAPD  harus dipertimbangkan ketika memilih terapi ini.
      Pasien memilih CAPD agar bebas dari ketergantungannya pada mesin, mengontrol sendiri aktifitasnya sehari-hari menghindari pembatasan makanan meningkatkan asupan cairan, menaikkan nilai hematokrit serum, memperbaiki kontrol tekananan darah, bebas dari keharusan pemasangan jarum infus(venipuncture) dan merasa sehat secara umum meskipun CAPD memberi kesan pasien tampak bebas, terapinya berlangsung secara kontinyu sehingga pasien harus menjalani dialisis selama 24 jam /hari setiap hari. Sebagian pasien menganggap cara ini membatasi kebebasanya dan memilih HD yang lebih bersifat intermiten.

KONTRAINDIKASI CAPD
Hal – hal yang dapat dipertimbangkan sebgai kontraindikasi dilakukan CAPD adalah :

  • Perlekatan akibat pembedahan atau penyakit inflamasi sistemik sebelumnya.
  • Perlekatan akan mengurangi klirens solut.
  • Nyeri punggung kronis yang rekuren di sertai riwayat kelainan pada diskus intervertebralis dapat diperburuk oleh tekanan cairan dialisat dalam abdomen yang kontinyu
  • Adanya riwayat kolostomi, ileostomi, nefrostomi atau ilealconduit dapat meningkatkan resiko peritonitis walaupun tindakan operasi tersebut bukan kontraindikasi absolut untuk CAPD.
  • Pasien dengan pengobatan imunosupresif akan mengalami komplikasi akibat kesembuhan luka yang buruk pada lokasi pemasangan kateter.
  • Diverkulitis mengingat CAPD pernah disertai adanya ruptur divertikulum.
  • Pasien dengan artritis atau kekuatan tangan menurun karena akan memerlukan bantuan dalam melaksanakan pertukaran cairan.
Kontraindikasi Absolut :

1.      Kesulitan teknik operasi
2.      Luka yang luas di dinding operasi
3.      Perlekatan yang luas dalam rongga peritoneum ( akibat operasi daerah abdomen, riwayat inflamasi sebelumnya )
4.      Tumor atau infeksi di dalam rongga abdomen (adneksitis )
5.      Riwayat Ruptur divertikel, hernia berulang yang tidak dapat dikoreksi
6.      Fistel antara peritoneum dengan rongga pleura
7.      Tidak dapat melakukan PD secara mandiri dan tidak ada yang membantu.

Kontraindikasi Relatif :
1.      Obesitas tanpa residual renal finction
2.      Gangguan jiwa
3.      Gangguan penglihatan
4.      Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK)
5.      Inflamasi kronik saluran cerna.

Persyaratan calon peserta :
1.      Pasien mandiri atau ada yang membantu
2.      Tinggal ditempat yang bersih dan lingkungan yang sehat
3.      Bersedia menjalani pelatihan intensif dan mematuhi prosedur PD



 
Gambar 1 Pemeliharaan Kateter


 
Gambar  2. Prinsip CAPD 



KOMPLIKASI CAPD
Kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi pada CAPD adalah :
  1. Peritonitis
Merupakan komplikasi yang paling sering terjadi dan paling serius, yaitu antara 60-80 % dari pasien yang menjalani peritoneal dialisis. Hal ini disebabkan oleh adanya kontaminasi dari Staphylokokus epidermidis yang bersifat aksidental, dan Staphylococcus aureus  dengan angka morbiditas tinggi, prognosis lebih serius serta lebih lama.
     Manifestasi dari peritonitis yaitu cairan dialisat yang keruh, nyeri abdomen yang difus, hipotensi serta tanda-tanda syok lainnya, hal ini jika penyebabnya S. Aureus. Pemeriksaan cairan drainage untuk penghitungan jumlah sel, pewarnaan Gram, dan pemeriksaan kultur untuk tahu penyebab mikroorganisme dan arahan terapi.
     Penatalaksanaan Peritonitis di rumah sakit apabila pasien dalam kodisi parah dan tak mungkin melakukan terapi pertukaran dirumah, dengan menjalani dialisis peritoneal intermitten selama 48 jam atau lebih atau sepenuhnya dihentikan selama dapat terapi suntikan antibiotik.
     Jika gejalanya ringan ditangani secara rawat jalan dan terapi antibiotik ditambahkan dalam cairan dialisat serta dapat AB peroral selama 10 hari. Infeksi akan menghilang dalam waktu 2-4 hari . AB harus diberikan dengan cermat dan tidak bersifat nefrotoksik agar tidak memperparah fungsi ginjal yang tersisa. Intervensi bedah mungkin diperlukan jika peritonitis akibat adanya kebocoran dari usus.
      Pada infeksi persisten di tempat keluar kateter pelepasan kateter permanen diperlukan untuk mencegah peritonitis. Peritonitis dengan hasil kultur cairan peritoneal positif juga merupakan indikasi pelepasan kateter. Untuk sementara menggunakan HD selama satu bulan sampai dilakukan pemasangan kateter yang baru.
       Pasien dengan peritonitis akan kehilangan protein melalui peritoneum dalam jumlah besar, malnutrisi akut, serta kelambatan penyembuhan.
  1. Kebocoran
Kebocoran cairan dialisat yang biasa terjadi melalui luka insisi atau luka pemasangan  kateter setelah kateter terpasang. Kebocoran akan berhenti spontan jika terapi dialisis ditunda selama beberapa hari sampai luka insisi dan tempat keluarnya kateter sembuh.
      Faktor yang dapat memperlambat kesembuhan adalh aktifitas abdomen yang tidak semestinya atau mengejan pada saat buang air besar. Kebocoran dapat dihindari dengan memulai infus cairan dialisat dengan volume kecil (100-200 ml) dan secara bertahap meningkatkan volume mencapai 2000 ml.
  1. Cairan drainage dialisat yang mengandung darah dapat terlihat khususnya pada wanita yang sedang haid.  Hal ini disebabkan karena cairan hipertonik menarik darah dari uterus lewat orificium tuba falopii yang bermuara ke dalam kavum peritoneal.

     
    Perdarahan





Kejadian ini dapat terjadi selama beberapa kali penggantian cairan mengingat darah akibat prosedur tersebut tetap berada pada rongga abdomen.  Penyebab lain adanya perdarahan karena pergeseran kateter dari pelvis serta pada pasien yang habis menjalani pemeriksaan enema atau mengalami trauma. Adapun intervensi yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan pertukaran cairan lebih sering untuk mencegah obstruksi kateter oleh bekuan darah.
  1. Komplikasi lainnya adalah
    1. Hernia abdomen karena peningkatan tekanan intra abdomen yang terus menerus. Tipe hernia yang terjadi adalah insisional, inguinal, diafragmatik, dan umbilikal. Tekanan intra abdomen yang persisten meningkat juga dapat memperburuk gejala hernia hiatus dan hemoroid.
    2. Hipertrigliseridemia sehingga memberi kesan dapat mempermudah aterogenesis. Penyakit Kardiovaskuler tetap merupakan penyebab utama kematian pada populasi pasien ini.
    3. Nyeri Punggung bawah dan anoreksia karena cairan dalam rongga peritoneum selain rasa manis yang selalu tarasa pada indra pengecap juga berkaitan dengan absorpsi glukose.
    4. Pembentukan bekuan dalam kateter peritoneal dan konstipasi.
  2. Gangguan citra tubuh dan seksualitas.
Hal ini berkaitan dengan adanya kateter abdomen dan selangnya. Ukuran pinggang dapat meningkat 2,5 sampai 5 cm atau lebih jika cairan berada di abdomen sehingga pasien tampak lebih gemuk. Seksualitas dan fungsi seksual dapat berubah sehingga pasien dan pasangannya enggan melakukan aktifitas seksual, dan keenggananya timbul juga karena secara psikologis kateter menjadi penghalang aktifitas tersebut, serta adanya cairan dialisat 2 lt , kateter peritoneal, dapat mengganggu fungsi seksual serta citra tubuh pasien ini.

Daftar Pustaka
  1. National Kidney Foundation.  KDOQI Clinical Practice Guidelines and Clinical Practice Recommendations for 2006 Update: Peritoneal Dialysis Adequacy.  Am J Kidney Dis 48:S91-S175,2006
  2. Paniagua R, Amato D, Vonesh E, Correa-Rotter R, Ramos A, Moran J, Mujais S. Effects of increased peritoneal clearances on mortality rates in peritoneal dialysis: ADEMEX, a prospective, randomized, controlled trial. J Am Soc Nephrol 13:1307-1320, 2002
  3. ISPD – Guideline / Recomendations 2010 ; Peritoneal Dialysis ; Related Infections Recommendation.
  4. ISPD-Guideline/ Recomendations 2006; guideline on target for solution and fluid removal in adult patients on CKD. Update: Peritoneal dialysis International vol 26, pp 520-522.
  5. Canadian Siociety of nephrology Guidelines/Recommendations 2011; Clinical practice Peritoneal Dialysis Adequacy. Update: Peritoneal d\ialysis International vol 31,pp.218-239.
  6. Khanna R,Karl D.Nolph, Principles od Peritoneal Dialysis; Update : Dialysis as treatment of End stage renal disease Chapter 4 ,pp. 4.1 – 4.11
  7. Clinical Practice Gudieline, Renal Replacement therapy. Ministry of health malaysia 2009.
  8. Konsensus Peritoneal Dialisis pada penyakit ginjal kronik. Pernefri 2011